Kamis, 14 Februari 2013

Perkembangan IPTEK pada Masa Perang Dunia II

Perkembangan IPTEK pada Massa Perang Dunia II

Dengan adanya inovasi iptek di implementasikan dalam wujud kepentingan perang dan pesawat terbang,roket, eksplorasi antariksa hingga tenaga atom menandai sebuah era baru perkembangan iptek dunia.Dalam perang dunia II penggunaan teknologi untuk kepentingan perang begitu menonjol.penggunaan tank dalam pada konflik perang dunia I dan bom atom pada perang dunia II tanda-tanda yang sama sebagai tanggapan dari rangsangan kebutuhan militer yang mendesak.selain itu inovasi pesawat terbang pun menjadi priolitas tersendiri sebagai media fiktif untuk melakukan peperangan diudara.perang udara menjadi salah satu ciri dari inovasi teknologi yang telah mengubah pola perang konvesional didarat dan laut.
Inovasi-inovasi teknologi tersebut telah mengubah karakter perang itu sendiri.dalam hal ini temuan-temuan teknologi akan difokuskan pada perang dunia II.salah satu teknologi yang dikembangkan selama perang dunia II adalah roket.perinsip daya dorong roket sebagai alat untuk mencapai kecepatan melepaskan diri dari gravitasi bumi telah ditunjukkan konstantin tsiolkovsky dan pakar amerika Robert H.Goddard.goddard membangun roket berbahan bakar gas cair pada tahun 1962.

A. meningkatkan daya dorong roket

Peningkatan daya dorong roket dilakukan untuk menaruh satelit-satelit ke dalam orbit dan pemeriksaan penggunaan satelit untuk keperluan komunikasi.fungsi lainnya untuk mengamati keadaan udara,memantau untuk keperluan militer, dan survei topografis dan geografis.

B. program pesawat angkasa berawak

Tahapan ini dia diawali oleh kosmonot rusia yuri gagarin,pada tanggal 12 april 1961 dalam pesawat vostok I.penerbangan ini memperhatikan penguasaan masalah yang dapat membawa pesawat dan awaknya ke atmosfer bumi, yaitu awak pesawat yang berjalan di luar angkasa.

C. program menuju bulan

Bermula dengan pendekatan-pendekatan ke bulan dilanjutkan dengan survei pendaratan berawak ke permukaan. NASA mendalami studi ruang angkasa, sedangkan ARPANET dibawah departemen pertahanan DARPA( defence advence research protect agency) mempromosikan ilmu komputer dan pemrosessan informasi dalam pemusatan informasi. 


PEMANFAATAN TEKNOLOGI NUKLIR PADA PERANG DUNIA II

Teknologi nuklir untuk kepentingan Militer
Mengingat tehnologi nuklir merupakan suatu teknologi maju yang sangat strategis, sejak perang dunia kedua telah dikembangkan senjata pemusnah massal yang berbasis pada teknologi nuklir, yag dikenal dengan senjata nuklir (nuclear weapon) dan peralatan perang berbasis teknologi nuklir salah satunya adalah kapan selam nuklir.

Senjata Nuklir
Senjata nuklir adalah salah satu alat pemusnah masal yang mendapatkan daya ledak (daya hancur) dari reaksi nuklir, baik reaksi fisi atau kombinasi dari fisi dan fusi. Keduanya melepaskan sejumlah besar energi dari sejumlah massa yang kecil, bahkan senjata nuklir mini dapat menghancurkan sebuah kota dengan ledakan, api, dan radiasi. Sejak berakhirnya perang dunia kedua, badan internasional seperti PBB, dalam hal ini ditangani secara khusus oleh IAEA, berusaha untuk mengendalikan penggunaan dan pengembangan teknologi nuklir sebagai senjata pemusnah massal.
Pada Perang Dunia kedua, Amerika membiayai sebuah proyek rahasia yang bernama Manhattan Project, proyek ini mempunyai tujuan membuat senjata nuklir berdasarkan pada setiap jenis unsur belah (fissile material). Dalam pelaksanaan proyek tersebut, pada tanggal 16 Juli 1945 Amerika Serikat telah meledakkan senjata nuklir pertama dalam sebuah percobaan dengan nama sandi "Trinity", yang diledakkan dekat Alamogordo, New Mexico. Percobaan ini bertujuan untuk menguji cara peledakkan senjata nuklir. 
Di luar kepentingan percobaan proyek, Bom uranium pertama diberi nama Little Boy, diledakkan di kota Hiroshima, Jepang, pada tanggal 6 Agustus 1945, diikuti dengan peldakkan bom plutonium Fat Man di Nagasaki. Sejak diledakkannya Fat Man, jepang bertekuk lutut pada sekutu dan berakhirlah Perang Dunia Kedua.

Sejak peledakkan tersebut, tidak ada senjata nuklir yang dilepaskan secara ofensif. Namun, perlombaan senjata untuk mengembangkan senjata pemusnah terjadi. Empat tahun berikutnya, pada 29 Agustus 1949, Uni Soviet meledakkan senjata fisi nuklir pertamanya. Inggris mengikuti pada tanggal 2 Oktober 1952, Prancis pada 13 Februari 1960, dan Cina pada 16 Oktober 1964.
Berbda dengan senjata pemusnah konvensional, senjata nuklir masih mempunyai efek mematikan hingga 2-5 tahun setelah diledakkan disamping korban tewas sesaat setelah diledakkan. Setengah dari korban yang tewas di Hiroshima dan Nagasaki meninggal dua lima tahun setelah ledakan nuklir yang diakibatkan oleh paparan radiasi.

Disamping senjata (bom) nuklir, senjata pemusnah masal lainnya yang berbasis teknologi nuklir adalah Senjata radiologi. Senjata radiologi adalah tipe senjata nuklir yang dirancang untuk menyebarkan material nuklir yang berbahaya ke wilayah musuh. Senjata tipe tidak memiliki kemampuan ledakan seperti bom fisi atau fusi, namun mengkontaminasi sejumlah besar wilayah untuk membunuh banyak orang. Senjata radiologi tidak pernah dilepaskan karena dianggap tidak berguna bagi angkatan bersenjata konvensional. Namun senjata tipe ini meningkatkan kekhawatiran terhadap terorisme nuklir.


Sejak tahun 1945 hingga tahun 1963, lebih dari 2000 percobaan nuklir dilakukan. Pada tahun 1963, seluruh negara pemilik dan beberapa negara non pemilik senjata nuklir menandatangani Limited Test Ban Treaty, yang berisi bahwa mereka tidak akan melakukan percobaan senjata nuklir di atmosfer,bawah air, atau luar angkasa. Perjanjian ini masih mengijinkan percobaan nuklir bawah tanah. Prancis melanjutkan percobaan nuklir di atmosfer hingga tahun 1974, Cina hingga tahun 1980. Percobaan bawah tanah terakhir oleh Amerika Serikat dilakukan pada tahun 1992, Uni Soviet di tahun 1990, dan Inggris di tahun 1991, sedangkan Prancis dan Cina hingga tahun 1996. Setelah mengadopsi Comprehensive Test Ban Treaty di tahun 1996, seluruh negara tersebut telah disumpah untuk menghentikan seluruh percobaan nuklir. India dan Pakistan yang tidak termasuk ke dalam negara-negara tersebut melakukan percobaan nuklir terakhirnya di tahun 1998.

Senjata nuklir adalah senjata yang paling mematikan yang pernah diketahui. Ketika Perang Dingin, dua kekuatan besar memiliki sejumlah besar persenjataan nuklir yang cukup untuk menghancurkan ratusan juta orang. Berbagai generasi manusia hidup dalam bayang-bayang penghancuran oleh nuklir, direlfeksikan dalam film-film seperti Dr. Strangelove dan Atomic Cafe.

Kapal Selam Nuklir
Kapal Selam Nuklir (KSN) adalah kapal selam yang pengoperasiannya menggunakan tenaga nuklir sebagai sumber tenaga. KSN menggunakan reaktor air bertekanan atau PWR (pressurizer water reactor) sebagai sumber tenaga memutar turbin utama yang menggerakkan baling-baling serta motor elektrik pengisi baterai yang menghasilkan listrik untuk berbagai keperluan. Berbeda dengan kapal selam diesel, kapal selam nuklir tidak perlu muncul ke permukaan untuk menghisap udara seperti yang dilakukan kapal selam diesel yang memerlukan udara dalam pembakaran bahan bakarnya. Keunggulan KSN terletak pada masa operasionalnya serta lebih bertenaga meskipun kapal selam mempunyai ukuran besar dan harus dalam kondisi menyelam, uranium sebagai bahan bakar dari reaktor dapat diganti setelah 3 tahun pemakaian. Faktor penghambat operasional kapal selam nuklir adalah kebutuhan atau suplai logistik awak kapal. 
KSN pertama dibuat tahun 1951, yang dipelopori oleh seorang perwira AL Amerika Serikat,Kapt. Hyman G. Rickover. Karya pertama nya adalah: USS Nautilus (1951)Yang revolusioner dari KSN adalah penggunaan reaktor nuklir untuk membangkitkan tenaga gerak propeller dan pengisian (recharge) battere-battere yang akan digunakan oleh motor listrik. Jadi posisi mesin diesel diambil alih oleh Reaktor Nuklir Mini. Sedang motor listrik tetap dipertahankan. 

SEJARAH PERKEMBANGAN

TEKNOLOGI PERSENJATAAN

Teknologi persenjataan selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Teknologi persenjataan yang dikembangkan oleh Negara-negara maju antara lain: senjata darat, udara, senjata nuklir, senjata laser, dan senjata biologi.
Tahun 1912, bom berbentuk granat tangan yang sederhana. Bom berkembang menjadi senjata yang dijatuhkan dari pesawat. Bom kemudian berkembang menjadi rudal yang merupakan elemen kunci dalam pertahanan strategis Negara-negara besar, seperti USA, Rusia, Inggris, Perancis, dan Cina.
Rudal sebagai wahana pelontaran hulu ledak bias nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya dalam hal ini kimia dan biologi dikembangkan melalui teknologi peroketan.
Dunia mengenal Robert Goddard (USA), Konstantin Tsiolkovsky (Rusia) dan Wernher von Braun(Jerman) yang dikenal sebagai bapak peroketan.
Roket-roket Hitler pada masa PD II, seperti V-2 pernah mengancam London, Inggris.
Tahun 1957, Rusia berhasil meluncurkan Sputnik. Sementara itu dengan didukung oleh von Braun, USA mengembangkan Roket Saturnus V yang membawa astronotnya ke bulan.
Kini teknologi peroketan untuk membuat rudal sudah meluas, selain Negara-negara diatas Iran, Korea Utara, dan Irak juga memiliki teknologi peroketan. Arab Saudi juga memiliki rudal balistik jarak sedang yang dibeli dari CIna. USA bersama sekutunya menerapkan Missile Technology Control Regime (Badan pengawasan teknologi rudal).
Perang rupanya mendorong para teknokrat menjadi kreatif untuk menciptakan senjata perang. Igor Sikorsky ialah orang pertama kali mengembangkan helicopter untuk kepentingan militer.
Sejak tahun 1967, AS dan Rusia bersaing mengembangkan konsep pesawat tempur modern bermesin jet supersonic jarak jauh antar benua.
Pada tanggal 2 Agustus 1939, Albert Einstein menulis surat kepada presiden Franklin Roosevelt. Dalam surat tersebut diberitahukan bahwa NAZI-Jerman sedang giat memurnikan uranium dan kemungkinan bahan tersebut dipersiapkan untuk pembuatan bom atom dengan kekuatan besar. Tidak lama kemudian pemerintah AS menggelar suatu proyek rahasia yang disebut Proyek Manhattan.
Senjata lain yang berbahaya adalah senjata biologi yang dapat menyebabkan jatuhnya ribuan korban hanya dengan menggunakan sedikit material.
Senjata biologi dapat dikembangkan dengan mempergunakan organisme-organisme hidup (bekteri dan virus) atau toksin (racun) yang diperoleh dari organisme-organisme.
Program senjata biologi juga lebih mudah disamarkan dalam bentuk fasilitas produksi dan penelitian biasa daripada melalui fasilitas nuklir atau kimia. Bagian paling sulit untuk menyembunyikan program senjata biologi adalah proses akhirnya, yaitu ketika organisme atau zat toksin diletakkan di hulu ledak misil, bom, senjata artileri, atau tangki penyemprot aerial.
Kesepakatan Persenjataan Biologi (KPB) yang diperlakukan pada tahun 1975, melarang penelitian, pengembangan, produksi, penimbunan, atau pengambilalihan senjata biologi dan toksin. Kesepakatan tersebut melarang system pengangkutan yang dirancang untuk mengangkut jenis-jenis senjata tersebut. Aturan tersebut berasal dari aturan perang kuno yang melarang penggunaan senjata ataupun substansi "beracun" dalam konflik bersenjata yang pertama kali dimodifikasi dalam Kesepakatan Den Haag pada tahun 1899 dan 1907.


MASALAH-MASALAH PENGEMBANGAN IPTEK

Pengalaman negara-negara maju dan negara baru maju menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi berakar pada kemampuan teknologi dan inovasi yang dimiliki. Kemampuan teknologi yang tinggi telah memberikan kekuatan untuk bersaing dan peluang dalam kancah perdagangan internasional yang kompetitif. Sulit untuk dibantah bahwa kemampuan teknologi yang dimiliki oleh suatu bangsa akan sangat menentukan daya saing, sehingga semua negara di dunia berusaha untuk mengejar ketertinggalannya dalam penguasaan Iptek.
Keberhasilan negara-negara baru maju di Asia Timur tidak dapat diulang dengan mudah di negara berkembang tapi perlu diciptakan kondisi tertentu dan berupaya mengatasi masalah-maslah dalam pengembangan IPTEK seperti akan diuraikan di bawah ini.


Keterbatasan Sumber Daya Iptek


Masih terbatasnya sumber daya iptek tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan
kesenjangan pendidikan di bidang iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2001 adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7. Selain itu rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan, dari 0,052 persen menjadi 0,039 persen pada tahun 2002. Rasio tersebut jauh lebih kecil dibandingkan rasio serupa di ASEAN, seperti Malaysia sebesar 0,5 persen (tahun 2001) dan Singapura sebesar 1,89 persen (tahun 2000). Sementara itu menurut rekomendasi UNESCO, rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen.
Kecilnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk
operasi dan pemeliharaan.

Belum Berkembangnya Budaya Iptek

Budaya bangsa secara umum masih belum mencerminkan nilai-nilai iptek yang
mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekedar memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli, serta lebih suka belajar dan berkreasi daripada sekedar menggunakan teknologi yang ada.

Belum Optimalnya Mekanisme Intermediasi Iptek

Belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara
kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna. Masalah ini dapat terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, seperti institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi.

Lemahnya Sinergi Kebijakan Iptek

Lemahnya sinergi kebijakan iptek, menyebabkan kegiatan iptek belum sanggup
memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan iptek belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi 15 penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri. Disamping itu kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan iptek.

Belum Terkaitnya Kegiatan Riset dengan Kebutuhan Nyata

Kegiatan penelitian yang tidak didorong oleh kebutuhan penelitian yang jelas dan eksplisit, menyebabkan lembaga-lembaga litbang tidak memiliki kewibawaan sebagai sebuah instansi yang memberi pijakan saintifik bagi kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Salah satu dampak langsung dengan adanya kegiatan riset yang tidak didasari oleh kebutuhan yang jelas adalah terjadinya inefisiensi yang luar biasa akibat duplikasi penelitian atau plagiarisme.
Dampak lainnya adalah merapuhnya budaya penelitian sebagai pondasi kelembagaan ristek, seperti yang terjadi pada sektor pendidikan. Pendidikan di Indonesia dapat dikatakan telah gagal membudayakan rasa ingin tahu, budaya belajar dan apresiasi yang tinggi pada pencapaian ilmiah.

Belum Maksimalnya Kelembagaan Litbang

Kelembagaan litbang yang belum dapat berfungsi secara maksimal, disebabkan karena manajemen yang lemah. Seorang peneliti yang hebat belum tentu memiliki ketrampilan dan sikap manajerial yang dibutuhkan untuk memimpin sebuah lembaga litbang. Selain itu perkembangan manajemen penelitian dan pengembangan di Indonesia jauh tertinggal. Dari ratusan peneliti tangguh di tanah air, hanya sebagian kecil yang memiliki kemampuan memimpin lembaga litbang sebagai sebuah entitas manajemen. Kursus-kursus manajemen (proyek) penelitian dan pengembangan amat jarang dilakukan,dan kalaupun ada, ditawarkan oleh pihak asing dengan biaya kursus yang mahal.

Masih Rendahnya Aktifitas Riset di Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi yang diharapkan menjadi sebuah pusat keunggulan (centre of
excellence) juga belum berhasil mengarusutamakan penelitian dan pengembangan dalam Tri Dharma Perguruan Tingginya. Hal ini berakibat pada:
1. terjadi brain draining tenaga peneliti ke kegiatan-kegiatan non-penelitian
2. pengusangan bahan-bahan belajar
3. penurunan relevansi pendidikan dan layanan masyarakat,
4. pendidikan pascasarjana,terutama tingkat Doktor (S-3) tidak berkembang,
5. kekayaan intelektual PT tidak berkembang, dan
6. kelas kreatif dan kewirausahaan (enterpreneurships) tidak berkembang.

Belum ada satupun univesitas yang layak disebut sebagai Universitas Riset yang sanggup menghasilkan pertahun 50 doktor dengan karya ilmiah berreputasi internasional. Banyak perguruan tinggi menomorsatukan pendidikan sarjana strata 1 dengan berbagai macam model rekrutmen, untuk menarik dana masyarakat. Pendidikan pasca sarjana, terutama pendidikan doktor, sebagai pendidikan berbasis riset belum dianggap sebagai motor penggalian dana yang berarti. Kerjasama penelitian pascasarjana dengan industri juga masih amat langka.
Komunikasi ilmiah antar peneliti dan profesional dalam PT yang sama juga rendah,
sehingga kohesivitas peneliti di PT juga rendah. Penggunaan sumber daya bersama
(resource sharing) antar laboratorium PT juga rendah, akibatnya justru utilisasi peralatan laboratorium tersebut juga rendah.
Perguruan-perguruan tinggi perlu menetapkan sebuah Program Utama Riset Universitas yang dirumuskan bersama-sama dengan para stakeholders penelitian dan secara sengaja mengalokasikan anggaran penelitian sebagai matching grants yang memancing dana kemitraan dari pemerintah dan industri. Sehingga volume block grants yang diberikan oleh
Pemerintah untuk kegiatan penelitian harus dikaitklan dengan alokasi anggaran penelitian Perguruan Tinggi (PT) yang bersangkutan.


Kelemahan Aktivitas Riset

Data-data tentang aktifitas riset di sektor pemerintah menunjukkan adanya kelemahan dalam aktifitas riset yang pada gilirannya menghambat perkembangan Iptek di Indonesia.

1) Total belanja riset di sektor pemerintah selama tahun 2003 berjumlah Rp.1.164,2 Milyar. Dari jumlah ini hanya 22,3% dibelanjakan untuk belanja modal, seperti tanah, gedung, peralatan dan kedaraan. Sisanya untuk belanja operasional seperti gaji upah, bahan dan perjalanan. Sebagai perbandingan di Malaysia pada tahun 2002, 54,11% dari biaya riset di sektor pemerintah dibelanjakan untuk belanja modal. Besarnyajumlah belanja modal mengindikasikan akumulasi infrastuktur untuk melaksanakan aktivitas litbang. Semakin besar persentasi belanja modal, semakin kuat basis infrastruktur untuk riset.

2) Rasio biaya riset sektor pemerintah (Rp.1.164 triliun atau 0.065%) terhadap PDB tahun 2003 (Rp. 1.787,7 trliun). Dengan asumsi bahwa sebagian besar aktivitas riset di Indonesia dilakukan oleh sektor pemerintah (70%), maka total belanja riset di Indonesia (sektor: Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Industri) mencapai 0,09% dari PDB. Sebagai perbandingan, pada tahun 2002 Malaysia memiliki rasio belanja riset terhadap PDB yang lebih tinggi:0,14%; dua kali lebih besar daripada Indonesia. Sementara itu,malaysia memiliki rasio total belanja riset nasional terhadap PDB sebesar 0,69%,delapan kali lebih besar daripada rasio di Indonesia. Rata-rata negara maju di Eropa dan Amerika Utara mengalokasikan hampir 2,5% dari PDB untuk akivitas riset.

3) Kegiatan riset di Indonesia dan pendanaannya masih didominasi oleh sektor pemerintah, sedangkan di Malaysia dan negara-negara maju, sektor industri lebih dominan. Riset sektor pemerintah baik LPND-Ristek maupun litbang Departemen sebagian besar dibiayai oleh anggaran pemerintah (DIP dan DIK). Dari keseluruhan biaya riset di sektor pemerintah, hanya 7% yang berasal dari swasta. Di negara-negara maju, pada umumnya lembaga riset pemerintah mampu menarik dana di luar pemerintah sebesar 25% - 30% dari total belanja riset.

4) Total jumlah peneliti di sektor pemerintah hanya sekitar 38% dari total personil riset yang ada, sebesar 62% adalah teknisi dan staf pendukung. Angka persentasi jumlah peneliti ini masih kecil jika dibanding dengan Malaysia yang lebih dari 70% dari personil litbangnya adalah peneliti. Ketertinggalan ini secara langsung telah menghambat perkembangan Iptek di Indonesia. Masalah-masalah di atas perlu mendapat perhatian serius dan penanganan yang tepat dari berbagai pihak terkait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar